Yang Menyimpan Luka
Oleh : Ustad Davy Bya
Sahabat akhiratku.
BANYAK ORANG yang tidak punya ketertarikan untuk bercerita, kerana mereka lebih suka menikmatinya sendirian. Salah satunya adalah sahabatku, sebut saja namanya Deddy. Sejak dulu dia dikenal sebagai pribadi yang introvert. Kalau hari ini dia mengajak bertemu dan ingin bicara sesuatu yang pribadi sifatnya, bagiku surprise banget. Dengan terbata-bata ia mulai bicara, “Di titik terendah, aku telah diperlihatkan wajah asli semua orang. Dan saat berada di titik tertinggi, aku pernah diperlihatkan wajah munafik semua orang”. “Okay”, kataku. “Lalu apa?”
Lisannya terasa tercekat. Setelah jeda sejenak, ia mulai bicara. Intinya, kawanku ini sedang kecewa berat. Dia merasa telah dikhianati oleh orang-orang yang notabene dulu pernah ia bantu hidupnya. Sekecewa itu. Di saat hidupnya terasa berat, ia merasa diabaikan. Teman yang dulu hangat, kini menjauh dan dingin terhadapnya. Ia mulai bertanya-tanya, ‘Apa salahku? Mengapa dia berubah? Haruskah kukejar atau kudiamkan saja?’ Akhirnya aku menemukan inti permasalahannya. Sejak dulu kawanku ini lurus-lurus saja dalam pergaulan, baik hati dan kerap dimanfaatkan orang. Dan sekarang secara ekonomi, dia sedang jatuh, usahanya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Di saat seperti ini, ia merasa semua teman yang katanya ‘senasib-sepenanggungan’ pergi meninggalkannya.
Setelah agak lega, aku tepuk pundaknya. ‘Selamat datang di universitas kehidupan my Bro’. Tak perlu gusar, tak usah kesal saat orang lain mengacuhkan atau berubah perilakunya kepada kita. Kerana tidak semua kehilangan adalah hukuman. Sebagian menurutku malah perlindungan, dan sebagian lagi adalah jawaban dari langit yang penuh rahmat’, kataku. Lalu kuceritakan pengalaman pahit yang mirip dengan apa yang dialaminya saat ini. Kukatakan padanya, ‘dari situ aku tidak lagi sibuk meratapi siapa yang pergi dalam kehidupanku. Aku malah sibuk bersyukur atas siapa yang disisakan Tuhan untukku’. Kami sama-sama tenggelam dalam lamunan nostalgia zaman dulu.
Hari ini aku belajar lagi. Banyak orang yang kalah bukan kerana keadaan, tapi kerana pikirannya sendiri. Itu mengapa Deddy menyimpan begitu banyak luka dan kesedihan. Aku teringat kata-kata Nouman Ali Khan, “Ketika engkau memahami bahwa hidup ini adalah ujian, maka engkau akan tahu bahwa tujuanmu bukan sekadar bertahan, tapi lulus dengan iman”. Kusalin kata-kata indah, lalu kukirimkan via whattsap kepada Deddy sebagai bekal di perjalanannya menuju rumah. Mudah-mudahan ia membaca dan faham maknanya.
