Merajut Ukhuwah di Tengah Gelombang Ikhtilaf
Sahabat-sahabatku yang kucintai, pernahkah kalian merenungkan betapa luasnya samudra ilmu Allah? Sejauh mana perahu pemahaman kita telah mengarungi lautan hikmah-Nya? Dalam perjalanan panjang mencari ridho-Nya, kita seringkali dihadapkan pada berbagai perbedaan pandangan, terutama dalam memahami rincian syariat-Nya, yang kita kenal sebagai fiqih.
Ikhtilaf, perbedaan pendapat dalam fiqih, adalah sebuah keniscayaan. Ia bagaikan warna-warni pelangi yang menghiasi langit kehidupan kita. Sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga saat ini, umat Islam telah terbiasa dengan beragam pendapat fiqih. Bukankah Rasulullah ﷺ sendiri bersabda, “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat“? (HR. al-Baihaqi).
Namun, sahabat-sahabatku, ada kalanya ikhtilaf ini menjelma menjadi badai yang mengombang-ambingkan bahtera persaudaraan kita. Ada di antara kita yang terjebak dalam ekstremitas, “mengharamkan” ikhtilaf, menganggap hanya pendapatnya lah yang paling benar, seolah-olah merekalah pemegang kunci surga. Mereka lupa bahwa kebenaran mutlak hanyalah milik Allah semata.
Ingatlah, sahabat-sahabatku, fiqih adalah jalan menuju ridho Allah, bukan tujuan akhir. Ia adalah rambu-rambu yang membimbing langkah kita di dunia yang fana ini. Jangan sampai perbedaan dalam memahami rambu-rambu tersebut menghancurkan tujuan utama kita, yaitu meraih cinta dan kasih sayang-Nya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Ayat ini dengan indah mengajarkan kita tentang pentingnya saling mengenal dan menghormati perbedaan. Perbedaan suku, bangsa, budaya, dan bahkan perbedaan dalam memahami fiqih, seharusnya menjadi jembatan untuk saling memahami dan mempererat ukhuwah, bukannya menjadi tembok pemisah yang menjauhkan kita dari nilai-nilai persaudaraan.
Sahabat-sahabatku, marilah kita belajar dari Rasulullah ﷺ, teladan terbaik bagi seluruh umat manusia. Beliau adalah sosok yang bijaksana dalam membimbing para sahabatnya. Beliau memperhatikan keragaman keadaan mereka, memberikan nasihat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing.
Kepada Bilal bin Rabah, beliau memberikan semangat untuk berinfak, “Berinfaqlah wahai Bilal. Jangan takut Allah akan membuatmu miskin!” (HR. al-Bazzar). Sementara kepada sahabat yang hendak menyedekahkan seluruh hartanya, beliau menasihati dengan lembut, “Jangan berlebihan! Sebab, meninggalkan keturunanmu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim).
Hikmah dari sikap Rasulullah ﷺ ini sangatlah jelas. Dalam menyampaikan ajaran agama, kita perlu memperhatikan kondisi dan kemampuan seseorang. Jangan sampai kita menimpakan beban yang terlalu berat kepada mereka, sehingga malah menjauhkan mereka dari agama.
Sahabat-sahabatku, ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat yang telah memiliki pemahaman fiqih tertentu, hendaklah kita bersikap luwes dan bijaksana. Janganlah kita tergesa-gesa menghakimi atau memaksakan pendapat kita kepada mereka. Ingatlah pesan hikmah, “Kalian tidak boleh memberi hikmah kepada orang yang tidak layak, karena dengan begitu berarti kalian menzhaliminya. Dan kalian jangan menahannya untuk orang yang layak, karena dengan begitu berarti kalian menzhaliminya.”
Ketahuilah, sahabat-sahabatku, diam bukan berarti kita mengakui kesalahan. Diam adalah sebuah kebijaksanaan, sebuah wujud toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain. Diam demi menjaga ketentraman dan kerukunan umat, bukankah itu lebih utama daripada memaksakan kebenaran yang belum tentu dapat diterima oleh mereka?
Sahabat-sahabatku, marilah kita jadikan ikhtilaf sebagai rahmat, bukan laknat. Marilah kita rajut ukhuwah di tengah gelombang ikhtilaf. Jadikanlah perbedaan sebagai keindahan, sebagaimana indahya warna-warni bunga di taman surga. Ingatlah selalu firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal ayat 63:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing langkah kita di jalan yang diridhai-Nya. Semoga kita selalu diberikan kekuatan untuk menjaga ukhuwah islamiyah, merajut persaudaraan yang kokoh di atas landasan iman dan takwa. Aamiin.
