Jiwa di Atas Langit, Kaki di Bumi
Oleh : Ustad Mogayer
Pernahkah kita terpukau oleh ketenangan seseorang di tengah badai masalah? Atau mungkin terheran-heran melihat kesederhanaannya saat limpahan rezeki menghampirinya? Mereka adalah manusia-manusia yang mungkin luput dari sorotan gemerlap dunia, namun pancaran kedamaian dari dalam diri mereka begitu terasa. Mereka adalah orang-orang yang telah “selesai dengan dirinya sendiri.”
Bayangkan seseorang yang tetap sabar dan tenang bagai karang diterjang ombak musibah. Wajahnya tidak keruh oleh keluh kesah, bibirnya tidak kelu karena ratapan. Ia menerima takdir dengan hati lapang, meyakini bahwa di balik setiap ujian tersembunyi hikmah yang mendalam.
Sebaliknya, ketika keberuntungan datang menyapa, ia pun tidak terlena. Senyumnya tetap teduh, langkahnya tetap membumi. Ia sadar, segala nikmat adalah amanah yang harus disyukuri dan digunakan dengan bijak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Orang yang telah selesai dengan dirinya tidak lagi terusik oleh pujian maupun cacian. Ejekan dan caci maki tidak membuatnya kehilangan kendali, tidak pula membuatnya menyimpan dendam. Ia memahami bahwa perkataan orang lain adalah cerminan dari diri mereka sendiri, bukan ukuran dari nilai dirinya. Demikian pula, sanjungan tidak membuatnya tinggi hati. Ia tahu betul, segala kebaikan yang ada padanya adalah karunia dari Sang Maha Pemberi.
Dalam kehidupan sosial, mereka memancarkan kehangatan tanpa memandang status. Duduk di restoran mewah tidak membuatnya canggung, dan menikmati hidangan sederhana di warung pinggir jalan pun tidak membuatnya risih. Mobil mewah tidak membuatnya sombong, dan menaiki transportasi umum pun tidak membuatnya merasa rendah diri. Baginya, nilai seseorang tidak terletak pada apa yang dimilikinya, melainkan pada bagaimana ia memperlakukan sesamanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Kesempatan untuk meraih kekayaan tidak membuatnya gelap mata dan menimbun harta. Ia menyadari bahwa rezeki adalah titipan yang harus dikelola dengan amanah dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Ketika garis hidup membawanya pada keterbatasan materi, ia tidak mengeluh dan meratapi nasib. Ia yakin, setiap keadaan adalah ujian yang akan menguatkan jiwanya.
Pakaian yang dikenakannya bukan untuk pamer merek, melainkan untuk menutupi aurat dan melindungi diri. Peralatan yang dimilikinya digunakan sesuai fungsinya, bukan sebagai simbol status. Matanya tidak lagi silau oleh gemerlap duniawi, hatinya lebih memilih esensi daripada sekadar bungkus yang indah. Mereka telah melampaui keinginan untuk diakui dan dipuji oleh manusia.
Mereka memilih teman bukan berdasarkan jabatan, gelar, atau kekayaan, melainkan berdasarkan hati yang tulus dan akhlak yang mulia. Mereka melihat setiap individu sebagai manusia yang memiliki nilai dan potensi yang sama di hadapan Sang Pencipta. Persahabatan bagi mereka adalah jalinan jiwa yang saling menguatkan dalam kebaikan.
Orang-orang seperti ini mungkin tidak selalu menjadi pusat perhatian dalam keramaian. Mereka mungkin terlihat biasa saja, bahkan mungkin dianggap kurang “seru” dalam pergaulan yang dangkal. Namun, di balik kesederhanaan mereka, terpancar kebijaksanaan dan kedamaian yang mendalam.
Kaki mereka tetap menapak bumi, menjalani kehidupan dengan segala realitasnya. Mereka tidak lari dari tanggung jawab duniawi, namun hati mereka telah tertambat di ‘atas langit’, dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan. Ego dan keakuan dalam diri mereka telah ditaklukkan oleh kesadaran akan kefanaan dunia dan keagungan Sang Khalik. Mereka memahami bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah peran sementara yang dimainkan di bawah arahan Sutradara Agung.
Mungkin tidak banyak kita temui orang-orang seperti ini di sekitar kita. Namun, jika kita beruntung bertemu dengan mereka, jadikanlah mereka sahabat. Belajarlah dari ketenangan mereka, dari kesederhanaan mereka, dari kebijaksanaan mereka. Atau, bahkan lebih baik lagi, berusahalah untuk menjadi salah satu dari mereka.
Berjuanglah untuk menjadi pribadi yang telah “selesai dengan dirinya sendiri.”
Proses ini memang tidak mudah dan membutuhkan perjuangan yang terus-menerus. Kita perlu melatih diri untuk tidak mudah terombang-ambing oleh pujian dan celaan, untuk tetap bersyukur dalam segala keadaan, dan untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih dalam. Kita perlu menaklukkan ego dan keakuan yang seringkali membutakan mata hati kita.
Namun, percayalah, ketika kita mampu mencapai tahap ini, kedamaian sejati akan menghampiri jiwa kita. Kita akan mampu menjalani kehidupan ini dengan lebih ringan, lebih fokus pada esensi, dan lebih dekat dengan Sang Pencipta. Jiwa kita akan terasa ringan bagai terbang di atas langit, namun kaki kita tetap kokoh menapak bumi, menjalani peran yang telah digariskan dengan sebaik-baiknya.
Mari kita renungkan, sudahkah kita berproses untuk menjadi manusia yang “selesai dengan dirinya sendiri”? Ataukah kita masih terus berjuang dengan berbagai keinginan duniawi yang seringkali menyesatkan? Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita menuju jalan yang diridhai-Nya.
