Mencapai Cinta Ilahi: Jejak Rasulullah Adalah Jalan Ridha Allah
TANGERANG SELATAN – Cahaya fajar menyingsing di hari Minggu, 7 September 2025, menyambut jemaah yang memenuhi Masjid An-Nur, Pamulang Permai-1. Sejak pukul 05:15 WIB, selepas salat Subuh, puluhan jemaah duduk khidmat. Mereka datang bukan hanya untuk menunaikan kewajiban, tetapi juga untuk menyimak dan meresapi setiap kata yang disampaikan oleh Drs. KH. Hasan Musthofi, SQ, MA. Pagi itu, kajian Ahad Ba’da Subuh menjadi oase spiritual dengan tema yang menggetarkan hati, “Cinta Rasulullah untuk Menggapai Ridha Allah.”
Dalam pemaparan yang tenang namun sarat makna, K.H. Hasan Musthofi membuka mata jemaah tentang hakikat cinta kepada Allah. Ia menjelaskan, cinta kepada Sang Pencipta bukanlah sekadar perasaan, melainkan sebuah jalan yang memerlukan usaha dan bukti nyata. Jalan itu, menurutnya, dapat ditempuh melalui tiga pilar utama: Kekuasaan Allah (Qudratullah), amal saleh, dan meneladani sosok orang saleh, khususnya Rasulullah ﷺ.
Pilar Pertama: Menggapai Ridha Melalui Kekuasaan Allah
K.H. Hasan Musthofi memulai kajiannya dengan menegaskan bahwa mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuah perjalanan yang dimulai dari hati. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah menyadari dan meyakini sepenuh hati akan Kekuasaan Allah (Qudratullah). Manusia, sebagai makhluk yang lemah, harus senantiasa bermunajat dan meminta langsung kepada-Nya.
“Kita seringkali merasa lelah dengan permasalahan hidup. Namun, sudahkah kita kembali kepada sumber segala kekuatan?,” tanya K.H. Hasan Musthofi. “Mintalah langsung kepada Allah. Sebutlah nama-Nya, panjatkanlah doa. Karena hanya Dia yang memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu di langit dan di bumi.”
Ia menekankan pentingnya membangun hubungan yang personal dan intim dengan Allah. Hubungan ini tidak hanya dibangun saat menghadapi kesulitan, tetapi juga di setiap helaan napas. Munajat dan doa yang tulus menjadi jembatan antara hamba dengan Sang Khalik, membuka pintu rahmat dan ridha-Nya.
Pilar Kedua: Amal Saleh, Jembatan Menuju Cinta Ilahi
Setelah memahami kekuasaan Allah, langkah berikutnya adalah menerjemahkan keyakinan itu dalam tindakan nyata: amal saleh. K.H. Hasan Musthofi memaparkan, amal saleh tidak hanya mencakup ibadah fardhu yang wajib, seperti salat lima waktu, puasa, dan zakat, tetapi juga ibadah sunnah yang dapat menjadi penambah berat timbangan kebaikan.
“Setiap amal saleh, baik yang besar maupun yang kecil, adalah bukti cinta kita kepada Allah,” ujarnya. “Apakah kita menjaga salat fardhu dengan khusyuk? Apakah kita rajin menunaikan salat sunnah? Amal-amal inilah yang akan mendekatkan kita, sejengkal demi sejengkal, kepada ridha-Nya.”
Amal saleh, menurut beliau, adalah manifestasi dari ketaatan seorang hamba. Ketaatan inilah yang akan membuahkan cinta. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 277, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Pilar Ketiga: Mengikuti dan Mencintai Rasulullah ﷺ
Pilar ketiga sekaligus yang menjadi inti dari kajian pagi itu adalah tentang mengikuti dan mencintai sosok orang saleh, khususnya Rasulullah ﷺ. K.H. Hasan Musthofi dengan penuh semangat mengutip Surat Ali ‘Imran ayat 31-32 sebagai landasan utama.
Ia membacakan ayat tersebut, yang terjemahannya berbunyi, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menurut beliau, ayat ini adalah jawaban langsung dari Allah. Diriwayatkan bahwa ayat ini turun ketika kaum Muslimin berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya kami mencintai Tuhan kami.”
Ada juga riwayat lain yang menyebutkan ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok Ahli Kitab yang mengklaim mencintai Tuhan mereka. Allah memberikan sebuah formula yang jelas: jika ingin dicintai-Nya, maka ikutilah Nabi Muhammad ﷺ.
“Mengikuti Rasulullah ﷺ bukan hanya tentang meniru cara beliau berjalan atau makan. Lebih dari itu, ia adalah tentang ketaatan dan meneladani akhlaknya,” tegas K.H. Hasan Musthofi.
Makna Cinta (Mahabbah) dalam Pandangan Ulama
Untuk memperdalam pemahaman jemaah, K.H. Hasan Musthofi menguraikan makna cinta (mahabbah) menurut para ulama. Ia mengutip Ibnu ‘Arafah yang mendefinisikan cinta di kalangan bangsa Arab sebagai “menginginkan sesuatu dengan maksud tertentu“. Sementara itu, Al-Azhari menjelaskan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah “ketaatan kepada keduanya dan mengikuti perintah mereka“.
Ini menunjukkan bahwa cinta sejati bukanlah sekadar emosi, melainkan sebuah komitmen yang diwujudkan dalam ketaatan. Oleh karena itu, Allah menegaskan dalam ayat berikutnya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Taatilah Allah dan Rasul(-Nya). Jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.‘” Ayat ini menjadi peringatan tegas bahwa berpaling dari ketaatan berarti berpaling dari jalan cinta, yang berujung pada ketidaksukaan Allah.
Tanda-Tanda Cinta yang Sesungguhnya
K.H. Hasan Musthofi kemudian memaparkan tanda-tanda cinta yang digariskan oleh Sahl bin ‘Abdullah. Rangkaian tanda ini, menurut beliau, adalah sebuah hierarki yang saling berkaitan, dimulai dari cinta kepada Allah dan berujung pada sikap terhadap dunia.
- Cinta kepada Allah: Tanda utamanya adalah mencintai Al-Qur’an.
- Cinta kepada Al-Qur’an: Tanda-tanda selanjutnya adalah mencintai Nabi Muhammad ﷺ.
- Cinta kepada Nabi ﷺ: Tanda-tanda selanjutnya adalah mencintai Sunnah.
- Cinta kepada Allah, Al-Qur’an, Nabi, dan Sunnah: Tanda-tanda selanjutnya adalah mencintai akhirat.
- Cinta kepada Akhirat: Tanda-tanda selanjutnya adalah mencintai dirinya sendiri.
- Cinta kepada diri sendiri: Tanda-tanda selanjutnya adalah membenci dunia.
- Benci dunia: Tanda-tanda selanjutnya adalah tidak mengambil apa pun dari dunia, kecuali bekal dan secukupnya saja.
Rangkaian tanda-tanda ini menjadi cerminan seberapa dalam cinta seseorang kepada Allah. Cinta itu akan memandu setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap interaksi dengan dunia. Membenci dunia dalam konteks ini bukanlah menolak kenikmatannya, melainkan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, melainkan hanya sebagai jembatan menuju akhirat.
Kajian yang berlangsung selama satu jam itu terasa begitu singkat. Jemaah pulang dengan hati yang penuh pencerahan. Mereka tidak hanya membawa bekal ilmu, tetapi juga sebuah peta jalan untuk menggapai cinta dan ridha Allah. Mengikuti jejak Rasulullah ﷺ, melaksanakan amal saleh, dan senantiasa bermunajat kepada Allah menjadi tiga kunci utama yang siap mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Masjid An-Nur, pagi itu, bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga mercusuar yang memancarkan harapan dan bimbingan spiritual bagi setiap jiwa yang haus akan ridha Ilahi.
