• Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) An-Nur Pamulang Permai - 1 , Yayasan An-Nur Pamulang Permai (YAPP)-Merajut Ukhuwah, Memakmurkan Rumah-Nya dan Menggapai Ridha-Nya
Selasa, 4 November 2025

Menangkal Salah Paham: Bedah Tuntas Sunah dan Bid’ah di Kajian Masjid An-Nur

Menangkal Salah Paham: Bedah Tuntas Sunah dan Bid'ah di Kajian Masjid An-Nur
Bagikan

TANGERANG SELATAN—Di tengah hiruk pikuk perdebatan yang kerap kali memecah belah umat, gema suara sejuk dan mencerahkan menggema dari Kompleks Pamulang Permai I. Pagi itu, setelah shalat subuh, Ahad, 8 Rabiul Awal 1447 H atau bertepatan dengan 31 Agustus 2025, Masjid An-Nur menjadi saksi sebuah upaya kolektif untuk meluruskan pemahaman yang salah kaprah seputar ajaran Islam. Dalam kajian Ahad Ba’da Subuh yang dihadiri oleh puluhan jemaah dari berbagai kalangan, Ustaz Dr. H. Burhan Ahmad Fauzan, SQ, MA, tampil memaparkan esensi bab Sunah dan Bid’ah dari Kitab  “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah“. Karya Hadratus Syekh KH. Muhammad Hasyim Asyari

Kajian yang dimulai tepat pukul 05.00 WIB dan berakhir pada 06.15 WIB ini berhasil menarik perhatian ratusan jamaah dari berbagai kalangan, mulai dari orang tua, pemuda, hingga anak-anak. Ruangan utama masjid terasa penuh, mencerminkan kerinduan umat untuk mendalami ajaran agama yang autentik dan terhindar dari pemahaman yang keliru. Dengan gaya penyampaian yang lugas namun mendalam, Ustaz Burhan mengajak jamaah untuk kembali kepada pemahaman yang benar tentang dua konsep fundamental dalam Islam, yaitu sunah dan bid’ah.

Sunah: Bukan Sekadar Kebiasaan, Melainkan Jalan yang Diridhai
Ustaz Burhan membuka kajian dengan menguraikan makna sunah. Beliau menjelaskan bahwa secara bahasa, sunah memiliki arti “jalan” atau “cara.” Namun, ia mengingatkan bahwa makna ini tidak serta-merta positif. “Secara bahasa, jalan itu bisa jadi jalan yang baik atau jalan yang buruk, tidak selalu diridhai,” tegasnya, sembari mencontohkan penggunaan kata sunah dalam konteks umum.

Lalu, bagaimana Islam memaknainya? Ustaz Burhan beralih ke pengertian sunah secara syariat, yang lebih spesifik dan memiliki landasan kuat. Beliau menekankan bahwa sunah dalam konteks syariat adalah “jalan yang diridhai oleh Allah dalam agama,” sebuah jalur lurus yang telah dilalui oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia. “Ini adalah jalan yang telah dicontohkan oleh sosok terbaik, panutan kita, Rasulullah SAW, dan diteruskan oleh para Khulafa’ al-Rasyidin,” katanya.

Poin ini didukung oleh hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Hendaklah kalian berpegang pada sunahku dan sunah Khulafa’ al-Rasyidin setelahku.”

Hadis ini menjadi landasan utama bagi umat Islam untuk senantiasa merujuk pada praktik dan ajaran Nabi serta para sahabatnya. “Berpegang teguh pada sunah adalah jaminan keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat,” pesan Ustaz Burhan.

Lebih lanjut, Ustaz Burhan menjelaskan bahwa secara umum, sunah juga diartikan sebagai ajaran atau amalan yang diikuti secara konsisten oleh para pengikut, baik nabi maupun wali. Beliau menyebutkan bahwa istilah “sunni” yang kita kenal saat ini merupakan nisbat atau penyandaran kepada kata sunah tersebut. Dengan kata lain, seorang muslim yang menyebut dirinya “sunni” adalah mereka yang berupaya secara konsisten mengikuti jalan yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan para pendahulunya yang saleh.

Narasi yang dibangun oleh Ustaz Burhan mengalir dengan lancar, membawa para jamaah memahami bahwa sunah bukanlah sekadar ritual atau amalan tambahan, melainkan keseluruhan gaya hidup yang mencerminkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia adalah fondasi ajaran, cermin akhlak, dan panduan moral yang tak lekang oleh waktu.

Membongkar Mitos Bid’ah: Menilai Perkara Baru dengan Timbangan Syariat
Sesi kedua kajian memasuki bahasan yang lebih sensitif dan sering menimbulkan perdebatan, yaitu mengenai bid’ah. Ustaz Burhan mengajak jamaah untuk melihat konsep ini secara jernih dan proporsional, tanpa terjebak dalam generalisasi yang keliru.

Mengutip Syekh Zaruq dalam kitab “Uddatul Murid,” beliau mendefinisikan bid’ah sebagai “memperbarui perkara dalam agama yang menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian darinya.”

Pengertian ini menjadi pintu gerbang untuk memahami esensi bid’ah yang sebenarnya. Beliau mengaitkan definisi ini dengan sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang membuat-buat dalam agama kami ini (yang) bukan bagian daripadanya, maka hal tersebut ditolak.”

Ustaz Burhan kemudian menggarisbawahi poin penting yang sering disalahpahami. Ia menjelaskan bahwa tidak semua “perkara baru” dalam kehidupan, bahkan dalam konteks keagamaan, secara otomatis disebut bid’ah dan tertolak. “Banyak orang yang salah paham, menganggap semua hal baru itu bid’ah. Padahal, para ulama menjelaskan bahwa pengertian hadis ini mengacu pada keyakinan bahwa suatu amalan yang sebenarnya tidak mendekatkan diri kepada Allah, dianggap bisa mendekatkan diri kepada-Nya,” jelasnya.

Pemahaman yang luas ini penting untuk menghindari sikap ekstrem yang menolak inovasi atau perkembangan yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat. Ustaz Burhan memberikan contoh bahwa mungkin saja suatu pembaharuan memiliki landasan ushul (pokok) dalam agama atau contoh furu’iyah (cabang) yang dapat dianalogikan (qiyaskan) kepadanya. “Prinsipnya, selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah, serta memiliki dasar yang kuat, maka ia tidak dapat langsung divonis sebagai bid’ah,” imbuhnya.

Meneguhkan Jalan Kebenaran di Era Disrupsi Informasi
Kajian yang penuh makna ini memberikan pencerahan bagi para jamaah di tengah derasnya arus informasi dan pemahaman agama yang simpang siur. Ustaz Burhan Ahmad Fauzan, dengan ketenangan dan kedalamannya, berhasil membimbing umat untuk memahami bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang ajarannya telah sempurna. Namun, bukan berarti ia menolak inovasi, melainkan selektif dan proporsional.

Kajian ini bukan sekadar transfer ilmu, melainkan sebuah upaya dialogis untuk meredam polemik. Dengan mengupas tuntas definisi, jenis, dan pertimbangan dalam menilai sunah dan bid’ah, Ustaz Burhan Ahmad Fauzan berhasil membuka cakrawala pemahaman baru bagi para jemaah. “Kajian ini penting,” kata salah seorang jemaah, “agar kita tidak mudah menghakimi orang lain sebagai pelaku bid’ah hanya karena kita tidak tahu dasar ilmunya.”

Momen ini seolah menjadi pengingat bahwa agama adalah tentang substansi, bukan sekadar kulit. Penceramah mengajak umat untuk kembali kepada sumber-sumber otentik, membedah setiap perkara dengan ilmu, dan bukan dengan emosi. Kajian yang berlangsung hingga pukul 06.15 WIB ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi setiap jemaah untuk beragama secara lebih dewasa dan bijaksana, jauh dari sikap ekstrem yang saling menyesatkan. Pesan utamanya jelas: memahami agama dengan ilmu adalah kunci untuk menjaga persatuan dan keutuhan umat.

SebelumnyaMembangun Umat Terbaik: Refleksi Moderasi Islam untuk Kehidupan NyataSesudahnyaSafari Dakwah di Pamulang, Syekh Gaza Ajarkan Cinta Al-Qur'an di Tengah Kisah Pilu Palestina
Tidak ada komentar

Tulis komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tahun Berdiri2000